Bakso Ta'aruf
Sebulan telah berlalu sejak pertemuan kami dengannya di warung bakso lesehan miliknya. Beberapa kali kami berkomunikasi melalui telepon. Pernah juga dua kali dia bertamu,tetapi hanya si Abi yang ditemuinya. Setiap dia datang bertamu,selalu bertepatan dengan kegiatanku di luar rumah,sementara si sulung saat itu sedang menikmati liburannya di Makassar,kampung halamanku.
Malam ini,ba'da isya,dia datang lagi setelah sebelumnya memastikan kami semua ada di rumah. Dia datang seorang diri. Pembawaannya yang santun dan tenang tidak berubah dari dulu. Kulirik sulungku,dia tetap tenang dan santai.
"Jadi begini nak Faqih,saya sudah menyampaikan sama Umi' dan Adaliah tentang pembicaraan kita beberapa hari kemarin. Tentang niat baik nak Faqih untuk ta'aruf,kami menyambut baik,walaupun usia kalian masih muda tetapi kami yakin kalian sudah bisa berfikiran lebih dewasa. Abi dan Umi' setuju-setuju saja tetapi untuk keputusannya tentu saja itu kami kembalikan ke Adel karena dia yang akan menjalaninya. Jadi,silahkan kalian berdua bicarakan,tak usah sungkan",kata Abi lalu mengajakku ke ruang keluarga yang bersebelahan dengan ruang tamu dan hanya di batasi oleh sekat partisi. Kami sengaja memberi ruang untuk mereka bicara dari hati ke hati. Tapi dari tempat ini kami masih dapat melihat dan mendengar percakapan mereka.
"Jadi bagaimana,dik?"tanyanya setelah mereka lama terdiam. Dari tempat kami
"Beberapa hari ini saya sudah memikirkan baik-baik tentang niat kak Faqih,saya juga sudah istikharoh dan akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa untuk saat ini saya ingin fokus kuliah dulu,Kak. Maaf kalu keputusan saya ini mengecewakan kak Faqih",jawab sulungku tetap tenang.
"Apakah telah ada seseorang,Dik?"tanyanya
"Insyaa Allah,tidak ada,Kak. Sebagai seorang muslimah saya tetap berusaha untuk menjaga hati,sebagai seorang anak,saya harus menjaga nama baik orang tua yang Kakak tahu sendiri bagaimana mereka. Murni ini karena memang saya belum berfikir ke arah sana. Kalau boleh jujur,saya memang kagum sama Kakak. Sejak pertemuan pertama itu,Abi banyak bercerita tentang kak Faqih,beberapa teman saya yang nyambi di tempat kak Faqih juga sering cerita tentang Kakak".
"Kalau Kakak bisa menunggu sampai kuliahnya dik Adel selesai,bagaimana?"tanyanya lagi.
"Itu terserah Kakak. Tapi,hati itu berbolak-balik,Kak. Di tengah penantian itu banyak hal yang bisa terjadi. Saya tidak ingin ada yang merasa terhianati yang pada akhirnya akan merusak silaturahim kita".
"Intinya begini,dik. Mari kita tetap jalani hari-hari kita seperti biasa tanpa ada beban,kita tetap berkomunikasi seperti biasa. Kalaupun pada akhirnya ternyata kita memang hanya ditakdirkan sebagai teman,Insyaa Allah Kakak siap. Dengan catatan,kita harus tetap jujur satu sama lain".
"Kakak yakin? Saingannya Kakak banyak loh dan saya yakin pengagum Kakak juga tidak sedikit",canda sulungku.
"Insyaa Allah,Dik. Saya percaya kalau jodoh takkan kemana. Kakak akan selipkan nama adik di setiap do'a kakak",ucapnya mantap.
Si Sulung datang menghampiri,mengajak kami untuk bergabung kembali. Si Faqih dengan tenang menjelaskan buah percakapan mereka berdua. Kulirik sulungku,dia tetap tenang meskipun semburat merah jambu itu tak mampu disembunyikannya. Pembawaannya yang tenang dalam segala hal persis Abinya.
"Jadi,intinya kalian tidak pacaran apalagi tunangan kan?"tanyaku memperjelas.
"Tidak Umi",jawab mereka kompak.
Ah...sulungku sudah dewasa.
Komentar
Posting Komentar