Bakso PDKT
"Iya Kak,lama tidak ketemu." jawab sulungku ramah,pandangannya tertunduk.
"Terakhir ketemu enam tahun lalu, kamu masih kecil,masih imut", katanya tersenyum tetapi pandangan matanya ke arah lain.
"Masih ingat konsep ghaddul bashar (menjaga pandangan) ternyata", ucapku dalam hati
"Kalau ini Harun, dan ini...?" tanyanya menunjuk ke putra ketigaku. Bocah lima belas bulan itu sudah tertidur beralaskan kasur kecil miliknya yang memang selalu kami bawa bila bepergian.
"Namanya Ziyaad", jawabku.
"Sebenarnya dari tadi pengen tegur Ustadz,tapi saya khawatir nanti Ustadznya kurang nyaman".
"Maksudnya....."
"Iya..........karena saya hanya tukang bakso,Tadz", ucapnya salah tingkah.
"Tidak ada yang salah dengan tukang bakso. Apapun profesinya,selama itu halal".
"Iya Tadz,tapi terkadang juga banyak yang menyepelehkan profesi kami yang hanya seperti ini. Mereka merasa malu jika mengakrabkan diri dengan kami".
"Dan insya Allah orang itu bukan kami",potong si Sulung." Kak Fakih pernah jadi santrinya Abi kan? Jadi Kak Faqih pasti sudah tahu bagaimana Abi dan Ummi", lanjutnya.
"Iya dik,kalau Abi dan Ummi Kakak udah tahu bagaimana,yang Kak Faqih khawatirkan justru dik Adel. Kakak khawatir kalau dik Adel malu atau merasa keberatan Kakak bergabung di sini".
"Tidak kok Kak,tidak apa-apa. Abi dan Ummi saja tidak keberatan,justru Adel salut sama Kakak yang tidak gengsian. Seperti kata Abi,kerja apa saja yang penting halal. Hidup kita yang jalani,tak usah peduli omongan orang,yang penting kita tidak melanggar norma dan aturan. Itu sebagai bentuk ikhtiar kita untuk sukses. Iya kan,Bi?" tanya si Sulung yang kami jawab dengan anggukan. Aku dan si Abi saling berpandangan, sebelah alisku terangkat sebagai kode agar segera mengakhiri percakapan ini.
"Sepertinya sudah larut, lain kali kita ngobrol lagi. Saya mau bayar dulu". Kata si Abi menepuk pundak si Faqih lalu berjalan menuju meja kasir. bergegas si Faqih menyusulnya.
"Tak perlu dibayar Tadz",katanya.
Bersambung
Komentar
Posting Komentar