Lelah (Astiti 1)


Namaku Astiti,usiaku dua puluh delapan tahun,seorang guru honorer di sebuah SMP Negeri di kota cengkeh. Sebagai seorang guru honorer,tentulah penghasilannya tidak terlalu besar tetapi aku selalu mensyukurinya. Aku berasal dari pulau seberang,pulau Kalimantan. Aku terlahir sebagai putri sulung dari tiga bersaudara. Adik pertamaku,Adnan,mengikuti jejak ayahku menjadi seorang penulis. Ardan adik bungsuku,adalah seorang programmer yang bekerja dari rumah,sehingga sekilas dia lebih mirip pengangguran daripada seorang pekerja. Setelah Ayah meninggal,ibu menyibukkan diri untuk mengembangkan usaha kuliner yang telah kami rintis sejak aku masih kuliah. Alhamdulillah,usaha itu semakin berkembang dan sudah memiliki cabang di beberapa tempat. Sejak kecil kami telah dibiasakan untuk mandiri dan tenang dalam bersikap. Ayah menididik kami dengan kedisiplinan tinggi dan mengajarkan kepada kami untuk saling melindungi satu sama lain. Setelah menikah,aku memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku demi mengikuti Mas Tama,suamiku.  

Suamiku,Tama,adalah seorang karyawan BUMN yang menduduki posisi "basah" di kantornya. Terlahir dari keleuarga berada dan sebagai anak bungsu membuat suamiku cenderung manja dan terkadang kurang dewasa dalam bersikap. Kakak iparku,Tami,adalah seorang wanita karier yang bersuamikan seorang dokter. Ibu mertuaku adalah seorang pengusaha tekstil. 

Dalam pandangan orang-orang,kami adalah keluarga yang harmonis. Kehadiran dua orang anak yang sehat dan lucu,Dirga dan Puspa,serta keadaan finansial yang berkecukupan semakin membenarkan anggapan itu. Tetapi, benarkah anggapan mereka?
Nyatanya,apa yang nampak tidaklah seperti kenyataannya. Pernikahan kami yang nampak tenang dan harmonis nyatanya seperti api dalam sekam. Sikap suami yang manja dan selalu menurut apa kata keluarganya sering membuat kami berselisih pendapat. Awalanya aku bisa menerima dan mengerti akan hal itu. Aku selalu berharap seiring berjalannya waktu,dengan bertambahnya usia,kedewasaan akan menghampiri suamiku. Bahkan setelah lima tahun pernikahan pun, Mas Tama tetap belum bisa mengambil keputusan sendiri dalam rumah tangga kami,sangat jauh berbeda dengan sosoknya di kantor yang terkenal cekatan dan matang dalam bertindak. Tetapi sebisa mungkin aku selalu menyembunyikan kisruh rumah tangga kami dari konsumsi publik terutama dari keluargaku. Selalu kugaungkan tentang kebaikan Mas Tama dan keluarganya. 

Mas Tama tidak pernah main tangan,tetapi pisau tak kasat mata sering menusuk hatiku lewat kata-katanya. Begitupula dengan mertua dan saudara Mas Tama,mereka sering menyiramkan cuka di atas luka hatiku. Dengan kedok menasehati kami, kata-katanya terkadang justru semakin memojokkanku. Statusku yang hanya sebagai guru honorer menjadi salah satu alasan mereka kurang menyukaiku. Dulu,saat aku hanya fokus sebagai ibu rumah tangga,mertuaku sering membandingkan aku dengan anak dan menantunya yang lain. Mereka selalu mengatakan aku seharusnya bisa bekerja,tidak hanya tinggal di rumah dan menghabiskan uang suami. Penampilanku yang sederhana dan cenderung apa adanya pun tak luput dari celaan mereka. Awalnya, Mas Tama masih membelaku dan melarang aku untuk bekerja,namun entah mengapa pada akhirnya Mas Tama juga sependapat dengan mereka. 

Jarak dari rumah ke sekolah tempatku mengajar hanya sepuluh menit berkendara. Dengan kecepatan sedang,kulajukan motor matic menuju ke rumah kami. Dirga sudah duduk manis di jok belakang sedangkan Puspa yang ku gendong menggunakan woven wrap sudah terlelap. Anak-anakku memang selalu ikut ke manapun aku pergi. Keluarga Mas Tama tidak mungkin ku mintai tolong untuk sekedar menitipkan mereka. Untuk menyewa pengasuh pun sepertinya bukan pilihan tepat. Mereka pasti akan semakin memojokkanku. Dari depan pagar dapat ku lihat mobil kakak iparku terparkir di samping mobil Mas Tama. Hari ini hari Sabtu,Mas Tama tidak ke kantor.

"Assalamu'alaikum..."ucapku.

"Wa'alaikum salaam...",salamku hanya dijawab oleh Mas Tama.

"Nah...ini nih Nyonya rumahnya,calon wanita karier sudah datang,"sindir kakak iparku. Tak ku pedulikan kata-katanya. Kuraih tangan ibu,ku kecup penuh taksim diikuti oleh Dirga. 

"Dari tadi Bu,?"tanyaku lalu duduk di sampingnya.

"Sudah tiga tahun kamu ngajar,belum juga jadi PNS,masih juga betah. Heran",sinis mertuaku tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya. Ucapan yang bukan untuk pertama kalinya aku dengar.

"Apa salahnya jadi guru honor Bu. Setidaknya saya ada kegiatan,tidak sumpek di rumah. Saya bisa mengamalkan ilmu yang pernah saya pelajari,biar ilmu tidak ngendap,Bu".

"Ilmu hitungan gitu aja blagunya kelewatan. Yang penting itu,dah pintar penambahan,pengurangan,perkalian,pembagian,itu dah cukup buat hitung cuan,"kak Tami mulai merendahkanku lagi.

"Gaji tidak seberapa saja sudah gayanya selangit,"sarkas ibu mertuaku. Mas Tama hanya asik memainkan hpnya tanpa sedikitpun peduli pada percakapan kami.

"Bukan masalah gajinya,Bu,saya merasa senang berbagi ilmu dengan peserta didik,"jawabku tetap tenang.

"Kalau mau mengajar,ajarin tuh adik-adik kamu yang cuma pengangguran itu. Kalau mau mendidik,didik saja anak-anak kamu,supaya si Dirga bisa jadi orang sukses seperti ayahnya dan Puspa bisa jadi wanita karier seperti tantenya. Tidak jadi seperti kamu yang sepertinya akan  menjadi honor abadi,"kata Ibu

"Astagfirullah...Ibu kok ngomongnya gitu,tidak usah bawa-bawa keluarga saya, Bu".

"Kenapa? Tersinggung?Kenyataan kok,"serang kak Tami.

"Adik-adik saya bukan pengangguran,mereka kerja,tapi kerjanya dari rumah".

"Iya... kerja di rumah,makan,tidur,malakin orangtua buat jajan,"kak Tami makin sinis.

"Cukup,Kak. Kalian boleh menghina saya,saya akan terima. Tapi jangan menghina keluargaku,apa salah mereka?"tanyaku. Tetap ku pelankan suaraku,aku tidak ingin membangunkan Puspa yang masih tertidur di dekapanku.

"Bela terus....,"ucap Ibu

"Adik-adik saya memang kerja,Bu.Penghasilan mereka bahkan mungkin lebih besar dari penghasilan kalian. Hanya saja mereka tidak suka gembar-gembor seperti kalian,"aku mulai meradang.

"Astiti...lancang kamu,yah...,"hardik kakak iparku. 

Plak...Plak...

"Dasar menantu kurang ajar,"

"Ibu....".

"Bunda...".

"Uuwwwaaaaah...."



                                                            Bersambung













 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Dasar Blog, Aku Padamu

Anatomi Buku

Pertemuan Pertama_ "kau yang ku tunggu"