Lara (Astiti 3)
Ceklek ....
Mas Tama masuk lalu duduk di sampingku.
"Masih sakit?" tanya Mas Tama, matanya menelisik pipiku.
"Hatiiku lebih sakit, Mas," jawabku
"lain kali jangan melawan ibu dan Kak Tami. mereka tidak suka dibantah".
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Selama ini ku selalu diam meskipun mereka menghinaku. tapi tidak hari ini Mas, mereka menghina keluargaku. Bahkan tadi Ibu pakai bawa-bawa Dirga dan Puspa. Ibu juga membentak Dirga,Mas juga dengan sendiri kan? Mereka keterlaluan".
"Astiti, Mas tidak suka kamu bicara seperti itu tentang ibu dan kakakku".
" Begitupun aku Mas. Apa salah keluargaku?"
" Sudahlah Astiti. Mas tidak mau ribut. Nanti setelah tenang, kamu harus minta maaf pada mereka. Ibu pulang dalam keadaan marah pada hal tadi niatnya mau bermalam," mas Tama keukeh membela ibu dan kakaknya.
" Aku, Mas? Aku harus minta maaf? Tidak kebalik Mas?"
" Jangan membantah Titi!" suara Mas Tama mulai meninggi
"Aku tidak....."
"Patuhi suami Astuti. kamu berutang maaf pada mereka. Aku mau menyusul ibu, aku menginap di sana." kata Mas Tama memotong ucapanku. Sekilas dikecupnya ubun-ubun Puspa lalu pergi. Selalu seperti itu,apapun kelakuan mereka kepadaku, Mas tama akan tetap membelanya. Hatiku kembali menganga.
Seperti katanya,malam ini, Mas Tama benar-benar tidak pulang. Setelah menidurkan Puspa, Aku duduk termenung di depan televisi.
Cekrek....... Cekrek
" Abang, kenapa photoin bunda?" tanyaku pada Dirga yang baru saja mengambil gambarku.
" Om Adnan sama Om Ardan minta dikirimin foto pipinya Bunda".
" Maksud Abang Dirga apa?"
" Tadi Om Adnan telpon tanyain bunda, jadi Abang bilang bunda lagi sedih, bunda habis dimarahin tante Tami, terus nenek mukulin pipi bunda, tapi Ayah malah belain mereka", jawab sulungku polos. " ini Om Adnan sama nenek mau VC sama bunda.
"Mati aku ya Allah...,"jeritku dalam hati. Selama ini aku memang menyembunyikan perlakuan keluarga suamiku.
"Ceritakan semuanya, jangan ada yang ditutupi," perintah ibuku tidak ingin dibantah begitu wajahku muncul di layar. Tampak kedua adikku juga ada di sana. Rumah Adnan adikku memang berdekatan dengan rumah Ibu,itu sesuai keinginan istrinya yang memang sangat dekat dengan ibuku,sementara adikku Ardan sampai sekarang masih betah melajang.
Lalu mengalirlah semua cerita itu,segala perlakuan mereka selama lima tahun ini. Tidak ada yang kusembunyikan lagi. Air mataku pun tak mampu lagi kubendung. Lara yang selama ini kusembunyikan dibalik tegarku terurai tak tersisa. Dapat kulihat kilat kemarahan di mata kedua adikku. Ibu dan Yuni,adik iparku,menangis berpelukan.
" Lalu, apa keputusanmu sekarang?" tanya ibuku
"Aku akan menyelesaikan masalah ini, bu".
"Kami akan selalu mendukung apapun keputusanmu. Ingat, jangan sembunyikan apapun dari kami. Kalau kamu sudah tidak sanggup,pulanglah. Pelukan kami akan tetap hangat merangkulmu",kata ibu mengakhiri percakapan.
Keesokan harinya Mas Tama pulang. dia terus mendesakku untuk meminta maaf kepada ibu dan Kak Tami. Entah apa yang mereka katakan pada mas Tama, aku seakan-akan tidak mengenali mas Tama yang kini berdiri di depanku.
" Mas, bukannya Aku tidak mau minta maaf, tapi untuk sekarang aku belum bisa, hatiku masih sakit".
" Dibisakanlah Tik, apa susahnya?"jawabnya enteng
" Mas, ini bukan hanya tentang perasaanku, tapi ini juga tentang harga diriku
" Harga diri yang mana, Ti? Kamu benar-benar keras kepala, pantas saja ibu dan kak Tami tidak pernah menyukaimu. Mungkin benar kata mereka, Aku keliru menikahimu. Kalau kamu begini terus, lebih baik kita cerai. Kamu sekarang benar-benar pembangkang",sarkas Mas Tama.
" Astagfirullah al-adzim Mas....Jangan bermain-main dengan kata sakral itu Mas". Sejenak Mas Tama termenung,mungkin menyadari apa yang baru saja diucapkannya. Namun sepertinya egonya lebih tinggi,dia pergi lagi tanpa sedikitpun menyapa kedua anaknya.
Komentar
Posting Komentar