Lara (Astiti 2)


Plak...Plak... 

"Ibu....".

"Bundaaa...".

"Uuuwwwwuuaaa...".

Teriakan Mas Tama bersamaan dengan jeritan Dirga yang berlari memelukku dan Puspa yang terbangun di pelukanku. Dua tamparan dari Ibu mendarat di pipiku. Sakit,perih ,panas,kurasakan telingaku agak berdengung. Tangisan Puspa semakin keras,ku tepuk-tepuk punggungnya yang masih terbalut woven wrap,berharap aga dia tenang kembali.

"Nenek kenapa pukul Bunda?"tanya Dirga sambil terus terisak memelukku.

"Itu karena Bundamu kurang ajar,"bentak Ibu.

"Tak perlu sampai memukul begitu,Bu"kata Mas Tama. Pembelaan yang terlambat.

"Kamu lihat sendiri kan,istrimu ini membantah Ibu. Itu karena kamu terlalu lembek sama dia,"sungut iparku.

"Tapi dari tadi Nenek yang marahin Bunda terus,"bela Dirga,bocah yang belum genap empat tahun itu memang agak kritis.

"Anak kecil,DIAMM,"bentak ibu.

"Jangan bentak anak saya,Bu,"kataku,segera ku tarik Dirga semakin merapat.

"Kamu kenapa jadi pembangkang begini,Ti?" tanya Mas tama seraya mengelus pipiku yang masih terasa panas. "Jangan melawan Ibu,itu menyakiti Mas,"lanjutnya.

Sejanak kutatap wajahnya lalu beranjak menuju ke kamar. Tak ku pedulikan omelan dari Ibu mertuaku. Ku gandeng tangan Dirga yang masih terisak. Kulepaskan woven wrap yang dikenakan Puspa lalu kurebahkan tubuh mungilnya di kasur,segera ku beri dia ASI agar dia terlelap kembali. Dirga ikut merebah di samping kami. Samar,masih ku dengar suara Ibu dan Kak Tami 'menasehati' suamiku.

"Nenek sama tante jahat yah,Bunda. Dirga benci mereka,"kata sulungku.

"Tidak boleh ngomong begitu,Nak. Tidak sopan,dosa. Dirga harus tetap hormat sama mereka,anak Bunda tidak boleh jadi pembenci,anak Bunda harus jadi pemaaf,"jawabku.

"Tapi mereka nyakitin Bunda terus, Dirga tidak suka. Dirga mau cepat besar,supaya bisa jagain Bunda sama ade' Puspa".

"Iya sayang,nanti kalau Dirga sudah besar,Dirga harus jadi laki-laki yang hebat,berhati lembut dan pandai menghargai orang lain. Dirga tidak boleh jadi pendendam. Dirga harus janji sama Bunda".

Sepi,tak ada jawaban. Ternyata dia sudah tertidur. Kukecup ubun-ubunnya,kuhirup aroma rambutnya yang bercampur bau matahari. Asem,tapi cukup menenangkanku. Sebisa mungkin ku tahan air mata yang sedari tadi mendesak ingin keluar. "Aku tak boleh lemah,aku tak boleh menangis,"bisikku menguatkan hati. Kuraba pipiku,panas. Ini untuk pertama kalinya aku ditampar orang. Meskipun ayahku sangat tegas dan disiplin dalam mendidik kami,tidak pernah sekalipun tangannya yang kekar itu menyentuh kami dengan kasar. Ketika kami melakukan kesalahan,sorot mata tegasnya akan menjadi isyarat agar kami merenungi kesalahan kami,lalu tepukan lembutnya adalah isyarat bahwa beliau telah memaafkan kesalahan itu. Sekilas,kehangatan orang tua dan adik-adikku terbayang. Air mataku tak mampu lagi kutahan. Setelah lima tahun pernikahan,ini pertama kalinya aku membantah mereka,aku  menangis sedih. Aku jauh dari kehangatan keluargaku dan aku terkucilkan di keluarga suamiku. Aku sendiri.
"Tidak. Aku masih punya Allah,Tuhan yang tak pernah meningglkanku. Aku masih punya Dirga dan Puspa,aku harus kuat demi mereka. Aku masih punya masa depan. Ku lirik jam diatas nakas,14.10. Bergegas kulangkahkan kaki mengambil air wudhu. Ku bentangkan sajadah,ku tunaikan dhuhurku. Dalam sujud terakhirku,kulangitkan do'a terindah untuk anak-anakku. Setelah salam,kucurahkan segala laraku padaNya,berharap diberi kesabaran dalam menghadapi segala ujian hidup. Perlahan,hatiku kembali tenang.

"Ala bidzikrillahi tathmainnul-qulub"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Dasar Blog, Aku Padamu

Anatomi Buku

Pertemuan Pertama_ "kau yang ku tunggu"