Ketika Kanjeng Ratu Memanggil

 


  Sejenak kuhela nafas ketika layar telepon menampilkan sebuah nama..."Kanjeng Ratu". Yah...Kanjeng Ratu adalah nama kontak yang kusematkan untuk mama mertuaku di kampung, sementara Kanjeng Emak kugunakan untuk emakku di pulau seberang. Ada apa dengan pemakaian nama itu? Kanjeng Ratu, karena segala keinginannya yang dihukumi wajib layaknya titah seorang ratu bagi putra ke tiganya yang tak lain adalah "si Abi", suamiku. Kanjeng Emak, karena segala tuturnya selalu penuh kedamaian dan pertimbangan. Dua karakter yang berbeda namun memliki cinta kasih yang sama. 

  Bukan tanpa alasan aku merasa berat untuk menjawab panggilannya kali ini. Tak lain dan tak bukan karena aku sedang mengikuti sebuah pelatihan via WA malam ini, sementara si Abi juga sedang ada kegiatan bersama warga. Setelah drama panjang menina bobokan si Bungsu (sementara) agar bisa fokus mengikuti materi, sejenak ego menutupi pekaku untuk menjawab panggilan itu. Hingga panggilannya yang kedua pun tetap kudiamkan. Berusaha untuk kembali fokus, namun sudah tak bisa. Bayangan wajahnya yang gelisah menerka kenapa panggilannya tak kunjung dijawab mengusik hatiku. Akhirnya, ku putuskan untuk menghubunginya.

  "Assalamu'alaikum mak...mama' sehat? sapaku. "Maaf Mak tadi lagi ada kegiatan", lanjutku.

  "Wa'alaikum salaam, alhamdulillah sehat. Mama' kira kamu seperti yang lain, sudah tidak mau mama' ajak cerita, mereka pada asik main Hp,"jawabnya penuh semangat. Lalu mengalirlah ceritanya tentang apa saja. Cerita yang bahkan telah berulang kali dikisahkannya hingga sebagian besar dari ceritanya itu sudah dihafal oleh sulungku. Dan, esok hari hal yang sama pun akan dilakukannya lagi, menelpon hanya sekedar untuk berbagi cerita ataupun memesan sesuatu yang harus dibeli dan diantarkan sendiri oleh si Abi, padahal jarak tempuh untuk sampai ke kampung hampir tiga jam perjalanan. 

   "Tanggung jawab Bapak tentangmu sudah selesai, sekarang sudah diambil alih oleh suamimu. Bantu ringankan hisabnya Bapak yah nak dengan mematuhi suamimu selama itu tidak mengundang murka Allah. Bantu juga suamimu meraih surganya dengan selalu mengingatkannya untuk berbakti kepada orang tuanya. Kalau kamu lelah, sandarkan segalanya kepada Allah dan ingat Bapak". Pesan si Bapak sesaat setelah akad nikahku tujuhbelas tahun lalu.

  "Nak, kita tinggalnya jauhan. Kamu tidak bisa berbakti sama emak secara langsung,tapi kamu bisa mewakilkannya dengan berbakti sama mertuamu. Mertuamu itu orang baik, hanya pembawaannya saja yang beda dengan emak. Ingat nak, susah payah dia menyekolahkan anaknya, tapi setelah anaknya berhasil jadi orang, malah hasilnya kamu yang nikmati. Bagaimana caramu menghormati emak, begitulah caramu menghormati mamakmu. Kalau kamu kesal, ingatlah...bahwa kelak kamu juga akan menua dan bergelar mertua. Jadikan semuanya sebagai pembelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi " pesan si Emak setiap kali kami mudik ke Makassar. Ah...si Emak, wanita desa yang sederhana dengan pengabdian luar biasa untuk keluarga. Anakmu rindu Mak

   "Sabar yah mi'...Abi tau kalau Umi' jenuh mendengar cerita yang hampir sama setiap harinya. Abi tau kalau Umi' lelah menghadapi mama' yang mulai suka "rewel", tapi untuk kesekian kalinya Abi mohon sabar dan jadilah pendengar yang baik untuk mama'. Insya Allah Abi ridho dengan apapun yang Umi' hidangkan, apapun yang Umi' siapkan, apapun yang Umi' lakukan selama itu tidak mendatangkan murka Allah, Abi hanya mohon Umi' sabar menghadapi masa tua mama'. Mama' itu ladang jihadnya kita, keramat nyatanya kita dan ujian naik kelasnya kita dari Allah...",terang si Abi panjang lebar ketika aku mencurahkan isi hatiku. 

   "Tapi kenapa hanya pada kita mama' seperti itu, sementara pada yang lainnya cenderung nurut dan adem ayam tanpa pernah ada drama?" tanyaku suatu ketika.

   "Karena mama' merasa kita berbeda dengan yang lain dan kita diuji dengan hal itu," terang si Abi. Ingat kata Uztads Abdul Somad  "orang tua itu seperti koran lapuk, dibaca tak terbaca, didiamkan jadi penyakit. Maka biarkanlah dia sampai hilang dengan sendirinya". Ah...si Abi, birrul walidainmu membuatku semakin cwintah manjalita.

    "Ya Allah...sabarkanlah hamba menghadapi si Mama', lapangkanlah hati kami menerima segala keunikan masa tuanya. Dan kelak...jika Engkau meridhoi kami untuk sampai di usia senja, anugrahkanlah kelapangan hati pada anak cucu kami untuk menerima segala kekurangan kami." Aamiin...


                                                                                   24.00 wita, setelah nostalgia bersama Kanjeng Ratu


      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Dasar Blog, Aku Padamu

Anatomi Buku

Pertemuan Pertama_ "kau yang ku tunggu"