Sentilan Nasi Bungkus
Sudah menjadi agenda rutin,setiap tanggal 17 akan diadakan upacara bersama dalam rangka penegakan kedisiplinan di lingkup DisPend Kabupaten Tolitoli,tak terkecuali hari ini. Dan berdasarkan keputusan bersama,hari ini aku kebagian tugas 'jaga gawang',piket bersama tiga orang rekan yang lain.
Pagi buta aku sudah bangun,memulai atraksi di dapur sambil mencuci pakaian. Meskipun sejak semalam perutku terasa begah dan mules,entah masuk angin atau efek siklus bulanan,aku tetap berusaha beraktifitas. Melaksanakan kewajiban sebagai Ibu rumah tangga sebelum melaksanakan tugas lain di luar rumah. "Bismillah...Allahumma shalli 'alaa Sayyidinaa Muhammad,Emak gak boleh sakit,"hatiku merapal mantra.
Alhamdulillah,pukul 05.50 dunia perdapuran sudah aman damai sentosa. Sepiring pisang kepok rebus dan segelas infus water dari kurma,menu andalan 'si Abi' sudah terhidang manis di bawah tudung nasi. Nasi goreng mentega andalan 'si Abang' putra kedua ku telah terisi di kotak bekalnya. Nasi lunak campur bayam,wortel dan telur puyuh untuk 'si Bungsu Sementara' pun telah siap. Saatnya mandi lalu bersiap untuk tugas lain.
06.30,aku sudah siap. Si kecil berceloteh riang di pelukan Abinya. Jum'at dan Sabtu si Abi memang free jadi 'si Bungsu Sementara' tak perlu turut serta. Ketiga anak kami memang kami urus sendiri,tanpa bantuan sanak keluarga maupun pengasuh. Nasib anak rantau...
"Tidak sarapan dulu,Um?"tanya suamiku.
"Lagi gak selera Bi,nanti saja,"jawabku. Segera kuraih tangannya,ta'zim pada Sang Imam.
"Berangkat Bi. Assalamu'alaikum...".
"Wa'alaikumsalaam. Ma'assalamah ilal Liqo' zaujatiy...cepat pulang separuh jiwaku". Ih...si Abi,lebaynya kumat,pagi-pagi bikin baper,meleleh aku tuh Bi...
09.00 perutku terasa perih. "Ya Allah...nyeri bulanan atau...jangan-jangan maagku kambuh,"aku panik sendiri. Teringat pisang kepok rebus dan nasi goreng mentega yang pagi tadi tak ku sentuh. Sambil menahan perih,bergegas kuseret langkahku ke kantin sekolah. "Maaf Bu, nasinya sudah habis,"sambutan ibu kantin menambah perih lambungku. Kembali ku ayunkan langkah memasuki ruangan,duduk bersandar pada kursi seraya terus bershalawat. "Biarpun di lambung ada badai,hati haruslah tetap tenang,"ku kuatkan diri sendiri. Ku raih gelas berisi teh hangat buatan salah seorang teman,,lalu ku pejamkan mata seraya menghirup aroma minyak kayu putih yang tadi disodorkan teman,ada rasa hangat menyapa indra penciumanku.
"Lapar ki' Bu?,"pelan,suara dengan aksen Bugis kental memaksaku membuka mata.
"Yah...?"ku tatap wajah polos nan ragu di depanku. Fajar,siswa kelas 7 yang sering mengantuk di kelas,berperawakan kurus,terkesan dekil(maaf),tetapi tergolong santun dalam bertutur kata.
"Saya dengar ki' tadi cari nasi di kantin Bu,tapi habis. Saya bawa nasi,tapi tidak tau Ibu mau atau tidak,"ucapnya ragu-ragu.
"Tidak usah ,Nak. Untuk kamu saja,sebentar lagi jam pulang,"jawabku.
"Tidak apa-apa Bu,daripada Ibu lapar,nanti tidak kuat ki' bawa motor. Kalau saya,biarpun rumahku jauh tapi saya ke sekolah ikut sama teman Bu. Tadi saya sudah makan mi rebus,Bu,ditraktir sama Restu,"ucapnya malu-malu.
"Tidak apa-apa?"tanyaku ragu. Sebenarnya ingin menolak,tetapi khawatir dia tersinggung dan...yah,lambung ku semakin perih.
"Tidak apa-apa Bu,saya senang. Kata Bapak,biarpun serba kekurangan,kita harus belajar berbagi. Karena dari berbagi itu akan mengundang rezeki lain Bu,"polosnya. Bersemangat,diulurkannya sebungkus nasi dari balik punggungnya. Ku raih dan ku buka bungkusan pemberiannya itu. Nasi putih sekepalan orang dewasa dengan sekerat ikan asin yang dilumuri saos tomat,ada sedikit bihun sebagai pelengkapnya.
"Maaf Bu,lauknya cuma begitu tapi dijamin enak Bu karena emmak masaknya ikhlas,saya bagi ke ibu juga dengan ikhlas,"
Deg...
"Saya tinggal Bu,saya mau remedial sama Ibu Risky,"ucapnya seraya berlalu. Kupandangi langkahnya,riang wajahnya menuju kelas.
Kupandangi nasi di hadapanku,pelan ku suap ke mulut. Seperti katanya,meski sederhana,rasanya enak. Ada rasa yang berkecamuk dalam dada. Terbayang wajah cerianya memuji masakan emaknya. Mantap suaranya mengulang petuah tentang konsep berbagi yang diajarkan Bapaknya. Senyum sumringah menegaskan tentang keikhlasannya dalam memberi. Kembali ku suap nasi pemberiannya,memang enak. Air mataku luruh juga. Bahasa sederhananya menyentil hatiku. Ku hapus air mataku,malu bila sampai terlihat orang lain. Dadaku sesak,tapi hatiku menghangat.
' Fabi ayyi alaa_i robbikumaa tukazzibaan..,' maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang engkau dustakan?
Fajar...terimakasih Nak...hari ini,lewat aksi sederhanamu,engkau memberiku pelajaran berharga. Salut untuk orangtuamu,yang dalam segala keterbatasannya mereka mampu menanamkan nilai-nilai religius kepadamu. Terimakasih Nak,sentilan nasi bungkusmu,menikam sisi egoku.
Keren...tulisannya kisah yg sangat menginspirasi . Semangat...sampai tuntas
BalasHapusTerimakasih bund
HapusWow sangat inspiratif Bun
BalasHapusTerimakasih
Hapus